Aku akan mengemukakan garis besar cara pikir orang-orang menyangkut filsafat, dari Yunani kuno hingga zaman kita sekarang. Namun kita akan menempatkan segala sesuatunya dalam tatanan yang benar.
Karena beberapa filosof hidup di zaman yang berbeda—dan barangkali dalam kebudayaan yang sama sekali berbeda dengan kita—sebaiknya kita berusaha mengetahui apakah proyek masing—masing filosof tersebut. Yang aku maksudkan di sini adalah kita harus berusaha untuk menangkap secara tepat apa yang ingin diketahui oleh sang filosof. Seorang filosof mungkin ingin tahu bagaimana tanaman dan binatang muncul. Yang lain mungkin ingin tahu apakah manusia mempunyai jiwa yang kekal.
Begitu kita telah menentukan apa proyek khusus filosof tertentu, akan lebih mudah untuk mengikuti jalur pemikirannya, sebab tak seorang filosof pun yang memusatkan perhatiannya pada seluruh filsafat.
Kisah jalur pemikiran para filosof juga merupakan kisah kaum pria. Para wanita di masa lampau direndahkan baik sebagai perempuan maupun sebagai makhluk primer, yang patut disayangkan sebab banyak sekali pengalaman sangat penting yang hilang karenanya. Baru pada abad kini sajalah kaum wanita benar-benar menunjukkan peran mereka dalam sejarah filsafat.
PARA FILOSOF ALAM
Para filosof Yunani paling awal kadang-kadang disebut filosof alam sebab mereka hanya menaruh perhatian pada alam dan proses-prosesnya.
Kita telah bertanya pada diri sendiri dari mana datangnya segala sesuatu. Sekarang ini banyak orang membayangkan bahwa pada suatu waktu sesuatu pasti muncul dari ketiadaan. Gagasan ini begitu tersebar luas di kalangan orang-orang Yunani. Karena satu atau lain alasan, mereka berpendapat bahwa “sesuatu” itu selalu ada.
Bagaimana segala sesuatu dapat muncul dari ketiadaan karenanya bukanlah pertanyaan yang penting sekali. Di lain pihak, orang-orang Yunani takjub melihat bagaimana ikan hidup dapat muncul di air, dan pohon-pohon besr dan bunga—bunga berwarna cemerlang dapat muncul dari tanah yang mati. Belum lagi bagaimana seorang bayi dapat muncul dari rahim ibunya.
Para filosof mengamati dengan mata mereka sendiri bahwa alam selalu berubah. Bagaimana perubahan semacam itu dapat terjadi?
Bagaimana sesuatu dapat berubah dri zat menjadi benda hidup, misalnya?
Semua filosof paling awal sama-sama percaya bahwa pasti ada suatu zat dasar di akar seluruh perubahan. Bagaimana mereka sampai pada gagasan ini sulit kita ketahui. Kita hanya tahu bahwa pandangan itu lambat laun berkembang. Pasti ada suatu zat dasar yang merupakan penyebab tersembunyi dari semua perubahan di alam. Pasti ada “sesuatu” yang darinya segala sesuatu berasal dan kepadanya segala sesuatu akan kembali.
Bagi kita, bagian yang paling menarik sesungguhnya bukan solusi—solusi apa yang berhasil dicapai para filosof paling awal ini, melainkan pertanyaan-pertanyaan mana yang mereka ajukan dan jenis jawaban apa yang mereka cari. Kita lebih tertarik pada bagaimana mereka berpikir daripada apa yang sebenarnya mereka pikirkan.
Kita tahu bahwa mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan perubahan yang dapat mereka amati di dunia fisik. Mereka mencari hukum-hukum alam yang mendasarinya. Mereka ingin memahami apa yang tengah terjadi di sekitar mereka tanpa harus kembali pada mitos-mitos kuno. Yang paling penting, mereka ingin memahami proses yang sesungguhnya dengan menelaah alam itu sendiri. Ini sangat berbeda dengan menjelaskan guntur dan halilintar atau musim salju dan musim semi dengan menciptakan dongeng mengenai dewa-dewa.
Maka filsafat lambat-laun membebaskan dirinya dari agama. Kita dapat mengatakan bahwa para filosof alam mengambil langkah pertama menuju penalaran ilmiah, dan dengan demikian menjadi pendahulu dari apa yang kemudian dinamakan sains. Dari semua yang dikatakan dan ditulis oleh para filosof alam hanya sedikit yagn sampai pada kita. Yang sedikit itu kita ketahui dari tulisan Aristoteles, yang hidup dua abad kemudian. Dia hanya mengacu pada kesimpulan-kesimpulan yang berhasil dicapai para filosof terdahulu itu. Jadi kita tidak tahu dengan jalan apa mereka sampai pada kesimpulan-kesimpulan tersebut. Tapi dari apa yang kita ketahui itu kita dapat memastikan bahwa proyek para filosof Yunani paling awal adalah menyangkut masalah bahan dasar dan perubahan-perubahan di alam.
Tiga Filosof dari Miletus
Filosof pertama yang kita kenal adalah Thales, yang berasal dari Miletus, sebuah koloni Yunani di Asia Kecil. Dia berkelana ke banyak negeri, termasuk Mesir, dimana dia dikatakan pernah menghitung tinggi sebuah piramid dengan mengukur bayangannya pada saat yang tepat ketika panjang bayangannya sendiri sama dengan tinggi badannya. Dia juga dikisahkan pernah meramalkan secara tepat terjadinya gerhana matahari pada 585 SM.
Thales beranggapan bahwa sumber dari segala sesuatu adalah air. Kita tidak tahu pasti apa yang dimaksudkannya dengan itu, dia mungkin percaya bahwa seluruh kehidupan berasal dari air—dan seluruh kehidupan kembali ke air lagi ketika sudah berakhir.
Selama perjalanannya di Mesir dia pasti telah mengamati bagaimana tanaman mulai tumbuh begitu banjir sungai Nil surut dari wilayah daratan di Delta Nil. Barangkali dia juga mengamati bahwa katak dan cacing muncul di tempat-tempat yang baru dibasahi hujan.
Besar kemungkinan bahwa Thales memikirkan tentang cara air berubah menjadi es atau uap—dan kemudian berubah menjadi air kembali.
Thales juga diperkirakan pernah berkata bahwa “semua benda itu penuh dengan dewa.” Apa yang dimaksudkannya dengan itu tidak dapat kita pastikan. Barangkali, mengingat bagaimana tanah yang hitam merupakan sumber dari segala sesuatu, mulai dari bunga dan hasil panen hingga serangga dan kecoa, dia membayangkan bahwa tanah itu penuh dengan “kuman kehidupan” yang sangat kecil dan tidak terlihat oleh mata. Satu hal sudah jelas—dia tidak berbicara tentang dewa-dewanya Homer.
Filosof berikutnya yang kita dengar adalah Anaximander, yang juga hidup di Miletus pada masa yang kira-kira sama dengan masa hidup Thales. Dia beranggapan bahwa dunia kita hanyalah salah satu dari banyak sekali dunia yang muncul dan sirna di dalam sesuatu yang disebutnya sebagai yang tak terbatas. Tidak begitu mudah untuk menjelaskan apa yang dimaksudkannya dengan yang tidak terbatas, tapi tampaknya jelas bahwa dia tidak sedang memikirkan tentang suatu zat yang dikenal dengan cara seperti yang dibayangkan Thales. Barangkali yang dimaksudkannya adalah bahwa zat yang merupakan sumber segala benda pastilah sesuatu yang berbeda dari benda-benda yang diciptakannya. Karena semua benda ciptaan itu terbatas, maka sesuatu yang muncul sebelum dan sesudah benda tersebut pastilah “tak terbatas”. Jelas bahwa zat dasar itu tidak mungkin sesuatu yang sangat biasa seperti air.
Filosof ke tiga dari Miletus adalah Anaximenes (kira-kira 570—526 SM). Dia beranggapan bahwa sumber dari segala sesuatu pastilah “udara” atau “uap”. Anaximenes tentu saja mengenal teori Thales menyangkut air. Taoi darimanakah asalnya air? Anaximenes beranggapan bahwa air adalah udara yang dipadatkan. Kita mengetahui bahwa ketika hujan turun, air diperas dari udara. Jika air diperas lebih keras lagi, ia menjadi tanah, pikirnya. Dia mungkin pernah melihat bagaimana tanah dan pasir terperas keluar dari es yang meleleh. Dia juga beranggapan bahwa api adalah udara yang dijernihkan. Menurut Anaximenes, udara karenanya adalah asal-usul tanah, air, dan api.
Tidak jauh berbeda jika dikatakan air adalah hasil dari tanah. Barangkali Anaximenes mengira bahwa tanah, udahara, dan api semuanya dibutuhkan untuk menciptakan kehidupan, tapi sumber dari segala sesuatu adalah udara atau uap. Maka, seperti Thales, dia beranggapan bahwa pasti ada sesuatu zat dasar yang merupakan sumber dari seluruh perubahan alam.
Tidak ada yang dapat muncul dari ketiadaan
Ketiga filosof Miletus ini semuanya percaya bahwa pada keberadaan satu zat dasar sebagai sumber dari segala hal. Namun bagaimana mungkin suatu zat dapat dengan tiba-tiba berubah menjadi sesuatu yang lain? Kita dapat menyebut ini masalah perubahan.
Sejak sekitar 500 SM, ada sekelompok filosof di koloni Yunani Elea di Italia Selatan. “Orang-orang Elea” ini tertarik pada masalah ini.
Yang paling penting diantara para filosof ini adalah Parmenides (kira-kira 540-480 SM). Parmenides beranggapan bahwa segala sesuatu yang ada pasti telah selalu ada. Gagasan ini tidak asing bagi orang-orang Yunani. Mereka menganggap sudah selayaknya bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini abadi. Tidak ada sesuatu yang muncul dari ketiadaan, pikir Parmenides. Dan tidak ada sesuatu pun yang ada dapat menjadi tiada.
Namun Parmenides membawa gagasan itu lebih jauh. Dia beranggapan bahwa tidak ada yang disebut perubahan aktual. Tidak ada yang dapat menjadi sesuatu yang berbeda dari yang sebelumnya.
Parmenides sadar, tentu saja, bahwa alam selalu berubah terus-menerus. Dia merasakan dengan indra-indranya bahwa segala sesuatu berubah. Namun dia tidak dapat menyamakan ini dengan apa yang dikatakan oleh akalnya. Jika dipaksa memilih antara bergantung pada perasaan atau pada akalnya, dia memilih akal.
Kamu kenal ungkapan “Aku baru percaya kalau sudah melihatnya.” Tapi Parmenides bahkan tidak mempercayai segala sesuatu sekalipun dia sudah melihatnya. Dia yakin bahwa indera-indera kita memberikan gambaran yang tidak tepat tentangg dunia, suatu gambaran yang tidak sesuai dengan akal kita. Sebagai seorang filosof, dia beranggapan bahwa tugasnyalah mengungkapkan segala bentuk ilusi perseptual.
Keyakinan yang tak tergoyahkan pada akal manusia dinamakan rasionalisme. Rasionalis adalah seseorang yang percaya bahwa akal manusia merupakan sumber utama pengetahuan kita tentang dunia.
Segala Sesuatu Mengalir
Rekan sezaman Parmenides adalah Heraclitus (kira-kira 540—480 SM), yang berasal dari Ephesus di Asia Kecil. Dia beranggapan bahwa perubahan terus-menerus, atau aliran, sesungguhnya merupakan ciri alam yang paling mendasar. Barangkali dapat kita katakan bahwa Heraclitus mempunyai keyakinan lebih besar pada apa yang dapat dirasakannya daripada Parmenides.
“Segala sesuatu terus mengalir,” kata Heraclitus. Segala sesuatu mengalami perubahan terus-menerus dan selalu bergerak, tidak ada yang menetap. Karena itu kita “tidak dapat melangkah dua kali ke dalam sungai yang sama.” Kalau saya melangkah ke dlam sungai untuk kedua kalinya, maka saya atau sungainya sudah berubah.
Heraclitus mengemukakan bahwa dunia itu dicirikan dengan adanya kebalikan. Jika kita tidak pernah sakit, kita tidak tahu seperti apa rasanya sehat. Jika kita tidak mengenal kelaparan, kita tidak akan merasakan senangnya menjadi kenyang. Jika tidak pernah ada perang, kita tidak dapat menghargai perdamaian. Dan jika tidak ada musim salju, kita tidak akan pernah melihat musim semi.
Yang baik maupun yang buruk mempunyai tempat sendiri-sendiri yang tak terelakkan dalam tatanan dari segala sesuatu, demikian keyakinan Heraclitus. Tanpa saling-pengaruh antara dua hal yang berkebalikan itu maka dunia tidak akan pernah ada.
“Tuhan adalah siang dan malam, musim salju dan musim panas, perang dan damai, kelaparan dan kekenyangan,” katanya. Dia menggunakan istilah “Tuhan,” namun jelas dia tak mengacu pada dewa-dewa dalam mitologi. Bagi Heraclitus, Tuhan—atau Dewa—adalah sesuatu yang mencakup seluruh dunia. Sesungguhnyalah, Tuhan dapat dilihat paling jelas dalam perubahan dan pertentangan alam yang terjadi terus menerus.
Sebagai ganti istilah “Tuhan,” Heraclitus sering menggunakan kata Yunani logos, yang berarti akal. Meskipun kita, manusia, tidak selalu berpikir sama atau mempunyai tingkatan akal yang sama, Heraclitus yakin bahwa ada semacam “akal universal” yang menuntun segala sesuatu yang terjadi di alam.
“Akal universal” atau “hukum universal” ini adalah sesuatu yang ada dalam diri kita semua, dan sesuatu yang menjadi penuntun setiap orang. Namun toh kebanyakan manusia hidup dengan akal mereka masing-masing, pikir Heraclitus. Secara umum, dia merendahkan rekan-rekannya sesama manusia. “Pendapat dari kebanyakan orang,” katanya, “adalah seperti mainan bayi.”
Maka di tengah segala perubahan dan pertentangan yang terus-menerus terjadi di alam ini, Heraclitus melihat adanya satu entitas atau ke-satu-an. “Sesuatu” ini, yang merupakan sumber dari segala sesuatu, dinamakannya Tuhan atau logos.
Empat Unsur Dasar
Dalam satu hal, Parmenides dan Heraclitus saling bertentangan. Akal Parmenides menegaskan bahwa tidak ada sesuatu yang dapat berubah. Persepsi indra Herclitus menegaskan bahwa alam selalu berubah. Yang mana diantara keduanya yang benar? Haruskah kita biarkan akal yang berkuasa atau haruskan kita bergantung pada indra kita?
Parmenides dan Heraclitus sama-sama mengemukakan dua hal:
Parmenides mengemukakan:
a) bahwa tidak ada sesuatu yang berubah, dan
b) bahwa persepsi indra kita karenanya tidak dapat dipercaya.
Heraclitus, sebaliknya, mengemukakan:
a) bahwa segala sesuatu berubah (“segala sesuatu mengalir”), dan
b) bahwa persepsi indra kita dapat dipercaya.
Para filosof tidak mungkin dapat berselisih paham lebih jauh lagi. Tapi siapa yang benar? Adalah Empedocles (kira-kira 490-430 SM) dari Sicilia yang menuntun mereka keluar dari kekacauan yagn telah mereka masuki itu.
Dia berpendapat bahwa mereka berdua benar dalam salah satu penegasan namun mereka salah dalam penegasan yang lain.
Empedocles mendapat bahwa penyebab dari pertentangan mereka adalah bahwa kedua filosof itu sama-sama mengemukakan adanya hanya satu unsur. Jika ini benar, kesenjangan antara apa yang dikemukakan akal dan apa “yang dapat kita lihat dengan mata kita sendiri” tidak akan dapat disatukan.
Air jelas tidak dapat berubah menjadi seekor ikan atau kupu-kupu. Sesungguhnya, air tidak dapat berubah. Air murni akan tetap menjadi murni. Maka Parmenides benar dengan keyakinannya bahwa “tidak ada sesuatu yang berubah.”
Namun pada saat yang sama Empedocles setuju dengan Heraclitus bahwa kita harus mempercayai bukti dari indra-indra kita. Kita harus mempercayai apa yang kita lihat, dan apa yang kita lihat itu adalah bahwa alam berubah.
Empedocles menyimpulkan bahwa gagasan mengenai satu zat dasar itulah yang harus ditolak. Baik air maupun udara semata—mata tidak dapat berubah menjadi rumpurn mawar atau kupu-kupu. Sumber alam tida mungkin hanya satu “unsur” saja.
Empedocles yakin bahwa setelah dipertimbangkan, alam itu terdiri dari empat unsur, atau “akar” sebagaimana dia mengistilahkan. Keempat akar ini adalah tanah, air, api, dan air.
Semua proses alam disebabkan oleh menyatu atau terpisahnya keempat unsur ini. Sebab semua benda merupakan campuran dari tanah, udara, api, dan air, namun dalam proporsi yang beragam. Jika sebatang bunga atau seekor binatang mati, katanya, keempat unsur itu terpisah lagi. Kita dapat mengamati perubahan-perubahan ini dengan mata telanjang. Namun tanah dan udara, api dan air tetap abadi, “tak tersentuh” oleh semua campuran dimana mereka menjadi bagiannya. Maka tidak benar jika dikatakan bahwa “segala sesuatu” berubah. Pada dasarnya, tidak ada yang berubah. Yang terjadi adalah bahwa keempat unsur itu tergabung dan terpisah—untuk menjadi tergabung lagi.
Kita dapat membuat perbandingan dengan lukisan. Jika seorang pelukis hanya mempunya satu warna—merah, misalnya—dia tidak dapat melukis pepohonan yang hijau. Namun jika dia mempunyai warna kuning, merah, biru, dan hitam, dia dapat melukis ratusan warna yang berbeda sebab dia dapat mencampurkan warna-warna itu dalam takaran yang berlainan.
Sebuah contoh dari dapur dapat menggambarkan hal yang sama. Seandainya aku mempunyai tepung saja, aku harus menjadi tukang sihir untuk dapat membuat kue. Namun bila aku mempunyai telur, tepung, susu, dan gula, maka aku dapat membuat berbagai macam kue.
Bukan hanya kebetulan bahwa Empedocles memilih tanah, udara, api, dan air sebagai “akar” alam. Para filosof lain sebelum dia telah berusaha untuk menunjukkan bahwa zat primordial itu pastilah air, udara, atau api. Thales dan Anaximenes mengemukakan bahwa wair dan u dara merupakan unsur-unsur penting dalam dunia fisik. Orang-orang Yunani percaya bahwa api juga penting. Mereka mengamati, misalnya, pentingnya matahari bagi segala sesuatu yang hidup, dan mereka juga tahu bahwa binatang maupun manusia mempunyai panas tubuh.
Empedocles mungkin pernah menyaksikan sebatang kayu terbakar. Sesuatu terurai. Kita mendengarnya merekah dan memercik. Itulah “air”. Sesuatu naik menjadi asap. Itulah “udara.” “Api”-nya dapat kita lihat. Sesuatu yang lain tetap tinggal ketika api padam. Itulah abu—atau “tanah.”
Setelah Empedocles menjelaskan perubahan alam sebagai bersatu dan berpisahnya keempat “akar”, masih ada lagi yang harus dijelaskan. Apa yang membuat unsur-unsur itu menyatu sehingga tercipta kehidupan baru? Dan apa yang membuat “campuran” dari, katakanlah, sekuntum bunga, terpisah lagi?
Empedocles yakin bahwa ada dua kekuatan yang bekerja di alam. Dia menyebutnya cinta dan perselisihan. Cinta mengikat segala sesuatu, dan perselisihan memisahkannya.
Dia membedakan antara “zat” dan “kekuatan”. Ini patut dicatat. Bahkan kini, para ilmuwan membedakan antara unsur dan kekuatan alam. Sains modern berpendapat bahwa semua proses alam dapat dijelaskan sebagai interaksi antara unsur-unsur yang berbeda dan kekuatan-kekuatan alam yang beragam.
Empedocles juga mengemukakan pertanyaan apakah yang terjadi ketika kita melihat sesuatu. Bagaimana aku dapat “melihat” sekuntum bunga, misalnya? Apakah sebenarnya yang terjadi? Pernahkah kamu memikirkan tentang ini?
Empedocles percaya bahwa mata terdiri atas tanah, udara, api, dan air, sebagaimana segala sesuatu di alam. Maka “tanah” di mataku melihat apa yang berunsur tanah di sekelilingku, “udara” melihat apa yang berunsur udara, “api” melihat apa yang berunsur api, dan “air” melihat apa yang berunsur air. Jika mataku tidak mengandung salah satu dari keempat zat itu, aku tidak akan dapat melihat seluruh alam.
Sesuatu dari Segala Sesuatu dalam Segala Sesuatu
Anaxagoras (500—428 SM) adalah filosof lain yang tidak setuju bahwa satu bahan dasar tertentu—air, misalnya—dapat diubah menjadi segala sesuatu yang kita lihat di alam ini. Dia juga tidak dapat menerima bahwa tanah, udara, api, dan air dapat diubah menjadi darah dan tulang.
Anaxagoras berpendapat bahwa alam diciptakan dari partikel-partikel sangat kecil yang tak dapat dilihat mata dan jumlahnya tak terhingga. Lebih jauh, segala sesuatu dapat dibagi menjadi bagian-bagian yang jauh lebih kecil lagi, namun bahkan dalam bagian yang paling kecil masih ada pecahan-pecahan dari semua yang lain. Jika kulit dan tulang bukan merupakan perubahan dari sesuatu yang lain, pasti ada kulit dan tulang, menurutnya, dalam susu yang kita minum dan makanan yang kita santap.
Beberapa contoh dari masa sekarang ini barangkali dapat menggambarkan jalan pikiran Anaxagoras. Teknologi laser modern dapat menghasilkan apa yang dinamakan hologram. Jika salah satu hologram ini menggambarkan sebuah mobil, misalnya, dan hologram itu dipotong—potong, kita akan melihat gambar lengkap mobil itu meskipun kita hanya mempunyai bagian dari hologram yang menunjukkan gambar bempernya. Ini karena seluruh subyek hadir dalams etiap bagiannya yang kecil-kecil.
Sedikit banyak, tubuh kita tercipta dengan cara yang sama. Jika aku melepaskan sel kulit dari jariku, nukleus itu akan mengandung tidak hanya ciri-ciri kulitku: sel yang sama juga akan mengungkapkan jenis mata apa yang kumiliki, warna kulitku, jumlah dan jenis jari-jariku, dan sebagainya. Setiap sel tubuh manusia membawa cetak—biru dari cara tersusunnya sel-sel lain. Maka ada “sesuatu dari segala sesuatu” dalam setiap sel. Keseluruhan itu ada dalam masing-masing bagiannya yang sangat kecil.
Anaxagoras menyebut ini partikel-partikel amat kecil yang memiliki sesuatu dari segala sesuatu dalam benih-benih mereka.
Ingat bahwa Empedocles beranggapan bahwa “cinta”—lah yang menyatukan unsur-unsur itu dalam seluruh tubuh. Anaxagoras juga membayangkan “keteraturan” sebagai semacam kekuatan, yang menciptakan binatang dan manusia, bunga dan pohon. Dia menyebut kekuatan ini pikiran atau akal (nous).
Anaxagoras juga menarik karena dia adalah filosof pertama yang kita dengar dari Athena. Dia berasal dari Asia Kecil namun pindah ke Athena pada usia empat puluh. Di kemudian hari dia dituduh atheis dan akhirnya dipaksa meninggalkan kota. Antara lain, dia mengatakan bahwa matahari bukanlah dewa melainkan sebuah batu merah-panas, yang lebih besar dari seluruh jazirah Peloponesia.
Anaxagoras secara umum sangat tertarik pad astronomi. Dia percaya bahwa seluruh benda angkasa terbuat dari zat yang sama dengan Bumi. Dia sampai pada kesimpulan ini setelah menelaah sebuah meteorit. Ini memberinya suatu gagasan bahwa mungkin ada kehidupan manuisia di planet-planet lain. Dia juga memikirkan penjelasan untuk gerhana matahari.
Tahukah anda ????
Bagian ini adalah info singkat yang akan selalu di Update tiap minggunya, untuk info lengkap tentang pembahasan di bawah ini juha di bahas dalam blog ini. Semoga bermanfaat
Tahukah anda bahwa kota tertua di dunia adalah Gaziantep, Turki (3650 SM ?)Kota yang dulunya dikenal dengan nama Antep yang sekarang menjadi ibukota provisi yang sama dengan namanyamerupakan kota tertua di dunia , Giazantep ini adalah kota tertua yang masih tegak berdiri. Kota ini memiliki sejarah sejauh zaman orang Het (Hittite). Kota ini terus menerus di tinggali semenjak zaman Paleolithic, dan tumbuh besar bersama dengan kekaisaran Ottoman.
Tahukah anda bahwa kota tertua di dunia adalah Gaziantep, Turki (3650 SM ?)Kota yang dulunya dikenal dengan nama Antep yang sekarang menjadi ibukota provisi yang sama dengan namanyamerupakan kota tertua di dunia , Giazantep ini adalah kota tertua yang masih tegak berdiri. Kota ini memiliki sejarah sejauh zaman orang Het (Hittite). Kota ini terus menerus di tinggali semenjak zaman Paleolithic, dan tumbuh besar bersama dengan kekaisaran Ottoman.
Rabu, 21 Oktober 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar